Isnin, Februari 04, 2013

ULAMA' SU' - IBN TAIMIYAH




Asy-Syathibi mengatakan, “Ulama su’ adalah ulama' yang tidak beramal sesuai dengan apa yang ia ketahui.” 


Ibn Taimiyah, setelah mengutip QS al-A‘raf ayat 146, berkata, 

“Inilah keadaan orang yang tidak beramal sesuai dengan ilmunya, tetapi mengikuti hawa nafsunya. Itulah kesesatan, sebagaimana firman Allah dalam QS al-A‘raf ayat 175-176; ini seperti ulama su’.” 

Di antara ulama su’ itu adalah ulama' salathin, yaitu ulama yang menjadi tali barut penguasa. Anas bin Malik ra. menuturkan sebuah hadis:
"Kebinasaan bagi umatku (datang) dari ulama su’, mereka menjadikan ilmu sebagai barang dagangan yang mereka jual kepada para penguasa masa mereka untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Allah tidak akan memberikan keuntungan dalam perniagaan mereka itu." (HR al-Hakim).
Menurut adz-Dzhabi, ulama su’ adalah 'ulama' yang mempercantik kezaliman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa, 'ulama' yang memutarbalikan kebatilan menjadi kebenaran untuk penguasa, atau ulama' yang diam saja (di hadapan penguasa) padahal ia mampu menjelaskan kebenaran.

Anas meriwayatkan:
"Ulama adalah kepercayaan para rasul selama mereka tidak bergaul dengan penguasa dan tidak asyik dengan dunia. Jika mereka bergaul dengan penguasa dan asyik dengan dunia maka mereka telah mengkhianati para rasul. Kerana itu, jauhilah mereka". (HR al-Hakim).
Hal itu kerana, jika 'ulama' bergaul dengan penguasa dan sering mendatanginya, yang diharapkan adalah dunia. Tentu yang dimaksud bukan 'ulama' yang datang untuk beramal makruf nahi mungkar dan membetulkan penguasa.

Rosaknya 'ulama' di antaranya kerana sifat tamak terhadap dunia. Ad-Darimi menuturkan, Umar bertanya kepada Kaab, “Apa yang mengeluarkan ilmu dari hati ulama?” Kaab menjawab, “Ketamakan.”

Keluarnya ilmu dari hati maksudnya bukan dilupakan, tetapi ilmu itu ditinggalkan, pengaruhnya hilang dan tidak lagi dijadikan tontonan. Hal itu sama saja dengan menukar ilmu atau agama dengan dunia. Inilah satu di antara sikap ulama su’. Ulama' demikian lebih layak di neraka.

Abu Hurairah ra. menuturkan hadis:
"Siapa yang makan dengan (memperalat) ilmu, Allah membutakan kedua matanya (atau wajahnya di dalam riwayat ad-Dailami), dan neraka lebih layak untuknya". (HR Abu Nu‘aim dan ad-Dailami).
Maksudnya adalah ulama yang menjadikan ilmunya sebagai alat untuk memperoleh kekayaan.

As-Sayrazi mengatakan, “Syaitan mendandani keburukan di hadapan ulama hingga berhasil menjerumuskan mereka dalam kemurkaan Allah. Mereka lalu memakan dunia dengan memanfaatkan agama, memperalat ilmu untuk mendapatkan kekayaan dari para penguasa, serta memakan harta wakaf, anak yatim dan orang miskin. Syaitan telah berhasil memalingkan perhatian ulama' itu untuk mencari pangkat dan kedudukan di hati makhluk. Itulah yang menyeret mereka ke dalam perdebatan, persaingan dan kebanggaan.”

Al-Minawi, dalam Faydh al-Qadîr, mengatakan, “Bencana bagi umatku (datang) dari ulama su’, yaitu ulama yang dengan ilmunya bertujuan mencari kenikmatan dunia, meraih pangkat dan kedudukan. Setiap orang dari mereka adalah tawanan syaitan. Ia telah dibinasakan oleh hawa nafsunya dan dikuasai oleh kesengsaraannya. Siapa saja yang keadaannya demikian, maka bahayanya terhadap umat datang dari beberapa sisi. Dari sisi umat; mereka mengikuti ucapan-ucapan dan perbuatan-perbuatannya. Ia memperindah penguasa yang menzalimi manusia dan mudah mengeluarkan fatwa untuk penguasa. Pena dan lisannya mengeluarkan kebohongan dan kedustaan. Kerana sombong, ia mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui.”

Kata tidak tahu tidak ada dalam kosakata ulama su’. Ia merasa janggal mengatakan tidak tahu. Padahal, Ibn Umar yang hebat itupun, tidak merasa malu untuk mengatakan tidak tahu. Ibn al-Mubarak meriwayatkan dari Ibn Umar, bahawa ia pernah ditanya tentang sesuatu, lalu ia menjawab, “Aku tidak tahu.” Kemudian ia menempelak dengan mengatakan, “Apakah engkau ingin menjadikan punggung-punggung kami sebagai jambatan bagi kalian ke neraka Jahanam?”

Muadz bin Jabal membahagi ulama su’ di dalam tujuh tingkatan neraka.

Tingkat pertama: ulama yang jika mengingatkan manusia, ia bersikap kasar; jika diingatkan manusia, ia menolak dengan tinggi hati.

Tingkat kedua: ulama yang menjadikan ilmunya alat untuk mendapatkan pemberian penguasa.

Tingkat ketiga: ulama yang menahan ilmunya (tidak menyampaikannya).

Tingkat keempat: ulama yang memilih-milih pembicaraan dan ilmu guna menarik wajah orang-orang dan ia tidak memandang orang-orang yang memiliki kedudukan rendah.

Tingkat kelima: ulama yang mempelajari berbagai perkataan dan pembicaraan orang Nasrani dan Yahudi guna memperbanyak pembicaraannya.

Tingkat keenam: ulama yang mengangkat dirinya sendiri seorang mufti dan ia berkata kepada orang-orang, “Bertanyalah kepadaku.” Orang itu ditulis di sisi Allah sebagai orang yang berpura-pura atau memaksakan diri dan Allah tidak menyukai orang demikian.

Tingkat ketujuh: ulama yang menjadikan ilmunya sebagai kebanggaan dan kepuasan intelektual saja.

Kerana semua itu, al-Ghazali mengingatkan, “Hati-hatilah terhadap tipu daya ulama su’. Sungguh, keburukan mereka bagi agama lebih buruk daripada syaitan. Sebab, melalui merekalah syaitan mampu menanggalkan agama dari hati kaum Mukmin. Atas dasar itu, ketika Rasul saw ditanya tentang sejahat-jahat makhluk, Beliau menjawab, “Ya Allah berilah ampunan.”

Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali, lalu bersabda, “Mereka adalah ulama su’.”

Wallahualam.


psssttt: (gambaran yang diberikan, sama tak dengan Nik Aziz ?? ;)

Tiada ulasan: